Ratu Perempuan yang Cerdas dan Trengginas di Nusantara

Penulis: Khusnul Yaqin
Guru Besar Universitas Hasanuddin
Di Nusantara sebenarnya sejak dari dulu tidak ada pembedaan peran sosial antara perempuan dan laki-laki. Ketika dunia Barat masih bergetayangan dengan patriarkisme, mendewakan gender laki-laki, Nusantara sudah mepunya pimpinan seorang perempuan, yaitu Maharani Sri Tribuawana Wijayatunggadewi (MSTW) (1328-1350).
Nama asli MSTW adalah Dyah Gitarja. Ia merupakan putri dari Raden Wijaya dan Gayatri. Memiliki adik kandung bernama Dyah Wiyat dan kakak tiri bernama Jayanagara. Pada masa pemerintahan Jayanagara (1309–1328) ia diangkat sebagai penguasa bawahan di Jiwana bergelar Bhre Kahuripan. Beliau adalah Raja ketiga Majaphit menggantikan kakak tirinya yang meninggal.
Dasar pemilihan beliau adalah kecerdasan dan kebijaksanaannya yang diputuskan oleh suatu dewan di Kerajaan Majapahit. MSTW memenuhi kriteria itu. Kemudian MSTW diangkat sebagai Raja atau Ratu Majapahit. Dari sini kita bisa melihat betapa majunya pemikiran para intelektual pada waktu itu yang tidak melihat gender sebagai kriteria seseorang menjadi raja atau ratu.
Cara berpikir ini juga diterapkan dalam berbagai hal, seperti dalam mempertimbangkan nasab. Nasab tidak diurut hanya dari jalur bapak saja, tetapi juga diurut dari jalur ibu. Oleh karena itu kebudayaan Nusantara tidak bisa ditakar oleh kebudayaan lain yang masih jahiliyah yang berkubang dalam pemikiran yang bias gender. Ali syariati seorang intelektual organik yang terlibat dalam gerakan-gerakan revolusioner, menolak analisis kebudayaan poliganmi yang dilakukan oleh Rasul saw dengan pisau analisis paradigma Barat. Hal itu karena dasar pemikiran paradigma Barat jauh berbeda dengan paradigma kebudayaan Arab Islam yang ada pada zaman Rasul saw.
Imam Ali Ridho as pernah diprotes jalur nasabnya oleh nasibi. Nasibi berkata ke Imam Ali Ridho as bahwa beliau bukan keturunan Rasul SAW, karena beliau tersambung ke Rasul SAW melalui jalur perempuan yaitu Fathimah Zahra as. Kemudian Imam Ali Ridho as balik bertanya menurut kamu, dari jalur manakah Isa as tersambung ke jalur kenabian? Nasibi itu gelagapan, karena dia juga tahu bahwa Isa as adalah putra Maryam yaitu seorang perempuan.
Dari situ kita bisa melihat bahwa masyarakat yang bapakisme adalah masyarakat jahiliyah dan masyarakat yang menghormati laki-laki maupun perempuan adalah masyarakat yang berakal dan cerdas. Anda bisa simak data bagaiamana Arab jahiliyah membunuh anak-anak perempuan yang hal itu tidak terjadi pada bani Hasyim. Hasyim kakek Rasul SAW menurut sejarawan dalam kondisi tertentu dikendalikan oleh istrinya yang bernama Salmah. Pembunuhan terhadap anak-anak perempuan ini tidak terjadi pada semua orang yang hidup di era jahiliyah sebagaimana disiyaratkan oleh Al Quran surat al An’am (6) ayat 137.
وَكَذٰلِكَ زَيَّنَ لِكَثِيْرٍ مِّنَ الْمُشْرِكِيْنَ قَتْلَ اَوْلَادِهِمْ شُرَكَاۤؤُهُمْ لِيُرْدُوْهُمْ وَلِيَلْبِسُوْا عَلَيْهِمْ دِيْنَهُمْۗ وَلَوْ شَاۤءَ اللّٰهُ مَا فَعَلُوْهُ فَذَرْهُمْ وَمَا يَفْتَرُوْنَ
Artinya:
Dan demikianlah berhala-berhala mereka (setan) menjadikan terasa indah bagi banyak orang-orang musyrik membunuh anak-anak mereka, untuk membinasakan mereka dan mengacaukan agama mereka sendiri. Dan kalau Allah menghendaki, niscaya mereka tidak akan mengerjakannya. Biarkanlah mereka bersama apa (kebohongan) yang mereka ada-adakan.
Arab jahiliyah yang musyrik menerapkan kebudayaan patriarkisme salah satunya dengan membunuh anak-anak perempuan, sedangkan keluarga Nabi saw tidak menerapkan patriarkisme dalam kehiudpan sosial.
Baca juga:
Tak Lagi Jadi Bagian dari DPC PDIP, Ini Respon Gibran
Rasul SAW juga mendekonstruksi cara berpikir bapakisme (patriarkisme) Arab jahiliyah yang masih menggelayuti pikiran sebagian para sahabat pada waktu itu. Sebagai contoh, pada saat Rasul SAW bermajelis dengan para sahabat kemudian sayyidah Fathimah datang di majelis itu, Rasul SAW berdiri menyambut Fathimah dan mencium tangan Fathimah.
Dua tradisi itu asing di masyarakat jahiliyah, menyambut seorang perempuan dan mencium tangannya. Rasul SAW melakukan Dua tradisi itu untuk mendekonstruksi pikiran sahabatnya yang masih jahiliyah, bapakisme.
Menempatkan peremuan dalam posisi setara dengan laki-laki yang dilakukan oleh Rasul SAW, sudah menjadi tradisi masyarakat Nusantara. Dewan ahli yang memilih MSTW sebagai ratu adalah bukti nyata tentang kesetaraan itu.
Setelah menjadi raja atau ratu Majapahit, MSTW membuktikan kapabilitas sebagai seorang perempuan. Sebagai seorang ratu, MSTW tidak lantas menjadi mager (malas gerak) dan mengendalikan pememrintahan hanya dari singgasana kerajaan. MSTW juga turun ke lapangan menjadi Panglima penumpasan pemberontakan di daerah Sadeng dan Keta. Dengan didampingi Gajah Mada, Ra Kembar dan sepupunya, Adityawarman, pemberontakan di daera Sadeng dan keta berhasil ditumpas dengan gemilang.
Di masa MSTW kerajaan Majapahit mencapai masa keemasannya, menjadikan rakyat Nusantara menjadi rakyat yang sejahtera dan berperadaban yang tinggi. Di bawah kepemimpinannya, birokrasi kerajaan yang sudah teratur menjadi lebih efisien. Pada masa pemerintahannya, Gajah Mada, seorang pemimpin yang visioner, diangkat menjadi Mahapatih Majapahit.
Bersama-sama, mereka memperluas pengaruh Majapahit hingga ke seluruh Nusantara. Ratu MSTW dikenal akan kebijaksanaannya, yang membawa kemakmuran bagi kerajaan. Ketika tiba saatnya untuk menyerahkan takhta, ia memilih anaknya, Hayam Wuruk, untuk menjadi raja selanjutnya. Tribhuwana kemudian mengundurkan diri dari kehidupan kerajaan dan menghabiskan sisa hidupnya untuk mendalami ajaran agama.
Sebelum dan sesudah Maharani Sri Tribuawana Wijayatunggadewi, nusantara memunyai tokoh-tokoh perempuan yang cerdas dan handal seperti Sri Maharani Mahissasuramardini Satyaputikeswara atau dikenal dengan nama Ratu Shima (674-695 M), Pramodawardhani dari Kerajaan Mdaŋ. Setelah Maharani Sri Tribuawana Wijayatunggadewi, kita mengenal Ratu kalinyamat (putri Sultan Trenggono) yang dtakuti penjajah Portugis, Nyai Ageng Serang, Malahayati dll.
Dengan demikian, pada waktu masyarakat Nusantara sudah lama terbebas dari bias gender karena kecerdasannya, peradaban lain, seperti peradaban Barat masih berkubang dalam ketidakadilan gender. Oleh karena itu masyarakat Nusantara tidak layak diajari berkesetaraan gender, dan lebih serius lagi kebudayan Nusantara adalah kebudayaan unggul yang tidak bisa dan tidak tepat dianlisis dengan pisau paradigma kebudayaan manapun.
Tamalanrea mas, 11 Agustus 2024
Comments (0)
There are no comments yet